Subscribe:

Selasa, 10 Januari 2012

SOLO POS "edisi LALU AKU"

EDISI TERAKHIR

Sangat sedih ketika menulis SOLO POS edisi terakhir ini. Tapi, ah, sudahlah.. selamat menikmati!

Di sinilah, di Surakarta ini, Telah terlahir sejuta kenangan..

Aku adalah kata-kata yang takkan selesai
Aku adalah deretan kalimat, yang bertaburan laksana debu
Aku adalah sebuah cerita, dimana kau bersembunyi di sana,
di sudut-sudut yang mengantar mimpimu.

Kawan, sadarkah hari ini kita sudah benar-benar berada pada ranah yang berbeda. Kita sudah berdiri pada titik yang berbeda. Tapi satu yang pasti, kita masih mendapatkan sinar dari matahari yang sama.

Rasanya bukan saatnya lagi kita bersedih pada perpisahan ini => Esa Unggul, Fort de kock, UPN, Cirebon, UMS dan Poltekes Surakarta.

Dalam semua hubungan, entah itu pertemanan atau percintaan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab sebuah perpisahan. Namun aku percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya! Itu dia! Memang sudah waktunya!

Jika memang sudah waktunya, perpisahan akan menjemput secara alamiah bagaikan ajal. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.

Jadi, semua faktor yang selama ini kita absahkan sebagai penyebab perpisahan, sudah kita sepakati, yaitu SUDAH WAKTUNYA.

Ada yang bicara pada ku “Tidak ada Tuhan yang menyukai perpisahan”. Hah, Bagi ku, Tuhan berada di luar ranah suka dan tak suka. Jika dunia ini berjalan hanya berdasarkan kesukaan Tuhan, dan Tuhan hanya suka yang baik-baik saja, mengapa kita dibiarkan hidup dengan peperangan, dengan air mata, dengan patah hati, dengan ketidakadilan, dengan kejahatan? Mengapa harus ada hitam bersanding dengan putih? Lantas, kalau ada orang yang kemudian berargumen bahwa bagian hitam bukan jatahnya Tuhan tapi Setan, maka jelas Tuhan yang demikian bukan Yang Maha Kuasa. Ia menjadi terbatas, kerdil, dan sempit. Bagi ku, Tuhan ada di atas hitam dan putih, sekaligus terjalin di dalam keduanya. Dan harus kita yakini bahwa Perpisahan ini adalah kehendak Tuhan. Allah Subhanahu wata’ala... kita hanya perlu ikhlas dan sabar dalam menghadapi perpisahan ini.

26 Novemver 2011 adalah momen penyadaran ku. Ku harap kalian demikian. Bahwasannya kita harus Menerima bahwa inilah adanya. Perkembangan yang akhirnya membawa kita ke titik perpisahan. Dan, untuk sampai pada penerimaan itu, kita HARUS bisa saling melepaskan dengan lapang dada, dengan baik-baik, dengan pengertian, dengan kesadaran, dan dengan keikhlasan.

Meski sepertinya keputusan berpisah bukan berada “di tangan kita”, tapi ada sesuatu kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

Lalu, hendak ke mana setelah ini? kita tidak tahu. Apa pun yang menanti kita sesudah ini, itulah tanggung jawab kita. Pahit atau manis. Tak seorang pun yang tahu. Namun inilah pelajaran hidup yang menjadi jatah kita bersama, dan kita harus menerimanya dengan senang hati.

Aku tidak berdagang dengan Tuhan. Setiap detik dalam hidup adalah hadiah. Setiap momen adalah perkembangan baru. Bagi ku, itu sudah cukup. Bagi ku, itulah bentuk kesadaran. dan kita memiliki hidup yang harus kita hidupkan. Kau mengerti, kawan?

Abstrak? Filosofis? Teoritis? Utopis? Aku sangat mengerti mengapa label-label itu muncul. Perpisahan kadang memang sukar dipahami. Hanya bisa dirasakan. Sama gagapnya kita berusaha mendefinisikan Cinta. Pada akhirnya, kita cuma bisa merasakan akibatnya.

Aku kehilanganmu
Atau kau kehilanganku
Entahlah...
Akuhanya ingin mengakhiri apa saja
Juga kata-kata yang tak kunjung reda
Hanya dalam malam ini
Sebelum rembulan membawa kabar dari sunyi...


Syaf Roni

Jakarta, 03 januari 2012.

0 komentar:

Posting Komentar